Kamis, 31 Desember 2009

Ki Ageng Mangir Wanabaya (Antara Cinta dan Kekuasaan bagian 2)

Ketika Majapahit surut (tahun 1527), Jawa menjadi daerah chaos dan tidak mengenal satu kekuasaan tunggal. Walisongo mulai turut meramaikan pengaruh di pesisir Utara dan Pasukan Portugis telah telah mendarat di Sunda Kelapa. Keadaan kacau balau, perang tidak terelakkan untuk merebut kekuasaan tunggal hingga pulau Jawa bermandi darah. Daerah-daerah merdeka pun bermunculan dan menjalankan sistem demokrasi desa diantaranya adalah Tanah Mangir dengan penguasa Ki Ageng Mangir Wanabaya. Saat bersamaan, Ki Ageng Pamanahan (Sutowijaya) berhasil sepenuhnya menaklukkan kerajaan Pajang dan mendirikan kerajaan Mataram Islam yang berpusat di Kota Gede (Sekarang Yogyakarta) dengan menobatkan anaknya Panembahan Senopati menjadi Raja (1575-1601).
Waktu terus berlalu dan hegemoni Mataram makin lama semakin tak terelakkan, hampir seluruh Jawa yang dulu menjadi kekuasaan Majapahit satu satu ditaklukkan. Namun wilayah merdeka di Mangir seperti slilit (kotoran di gigi) atau bahkan duri di dalam daging bagi Mataram, mengingat luas Mangir hanya kecil
dan berada dalam kantong kekuasaan wilayah Mataram, ibarat Jerusalam atau Kosovo, dalam sudut pandang geopolitik kondisi ini akan mengganggu hankam dan kewibawaan Mataram. Berbagai ultimaltum agar membayar upeti sebagai tanda kesetiaan kepada Mataram selalu ditolak mentah-mentah, karena tanah Mangir yang dulu di bawah Majapahit, sekarang menjadi tanah merdeka dan tidak ada kewajiban tunduk kepada siapapun.
Ki Ageng Mangir Wanabaya jika dilihat dari segi genetika, ia masih keturunan Prabu Brawijaya, raja Majapahit. Tak mengherankan bila Ki Ageng Mangir cukup berpengaruh di kalangan bangsawan pesisir kidul dan daerah sekitarnya. Ki Ageng Mangir memiliki senjata pusaka yang sangat dahsyat yaitu Tombak Baru Klinthing yang terbuat dari seekor lidah naga yang dibubuhnya saat melingkar di gunung Merapi (baca bagian 1) jika tombak yang sangat sakti itu diarahkan pada siapa saja, maka kematian yang akan terjadi. Bahkan Tombak Kyai Pleret yang menjadi andalan Mataram pun tidak mampu menandingi.
Konflik menjadi tidak terelakkan, kriwikan dadi grojogan (perkara sepele dadi gawe), terlebih lagi janji Ki Ageng Pamanahan kepada Joko Tingkir (Sultan Hadi Wijaya) untuk menguasai sepenuhnya bekas kekuasaan kerajaan Pajang, hingga Ki Ageng Pemanahan memerintahan kepada Panembahan Senopati untuk menyuruh anaknya yaitu Pembayun melaksanakan misi intelejen yang sangat rahasia menyamar menjadi seorang ledek (penari keliling) . Berkedok sebagai penari ledek inilah akhirnya mampu meluluh-lantakkan hati, Ki Ageng Mangir Wanabaya dibuat bertekuk lutut dan kasmaran habis-habisan, lalu mengangkat menjadi garwa prameswari (Permaisuri).
Sebuah perkawinan rekayasa yang dibuat oleh Mataram dalam rangka menghancurkan kekuasaan Mangir dan daerah-daerah lain yang turut membantu Mangir. Asmara senantiasa memabukkan, dalam kondisi demikian Wanabaya tak mampu menjernihkan daya pikirnya, larut oleh rasa birahi dan cinta. Maka, lelaki keras dengan tubuh tegap sentosa itu pun dengan mudah diperdaya dan akhirnya bertekuk lutut.
Pada suatu kesempatan pembayun melaksanakan tugasnya, mengusap tombak pusaka sakti baruklinthing dengan sampur sonder ikat pinggang ledek. Di saat tombak pusaka sudah berkurang kesaktiannya, bertepatan pula dengan kehamilan Pembayun, maka mengakulah bahwa sebenarnya dirinya adalah Putri mahkota anak Panembahan Senopati. Ki Ageng Mangir sangatlah terkejut mendengar pengakuan itu, tapi apa mau dikata ternyata istrinya yang sangat Ia cintai adalah anak dari musuh besarnya. Setelah kejadian itu, Pembayun meminta kepada Ki Ageng Mangir untuk sowan (menghadap) ke Ayahandanya untuk membuktikan darma bakti sebagai seorang anak mantu. Dengan berat hati, Ki Ageng Mangir Wanabaya melaksanakan permintaan agar sungkem ke mertua ke Mataram.
Nah disaat perjalanan Ki Ageng Mangir menuju Mataram inilah ada yang menarik, ada sebuah kisah bahwa perjalanan ini yang menjadi awal mula dari beridirinya kota Bantul. . Cerita ini bermula dari perjalanan Ki Ageng mangir akan ke mataram dengan berjalan dari mangir ke timur (mungkin sekarang jalan srandakan). Nah sesampainya disuatu desa Ki Ageng Mangir berhenti sejenak karena tombak sakti baru klinthing seperti membisikan sesuatu yang intinya dia menyarankan untuk membatalkan perjalanannya. Dan apabila Ia akan terus melanjutkan, maka nyawanya sudah di Pal (dipastikan) akan melayang. dan dari kejadian itu maka desa itu kemudian disebut Palbapang berasal dari kata pal atau ngepal. Ada kepercayaan unik di sebagian masyarakat Bantul sampai sekarang, misalnya untuk orang-orang di Bantul selatan jika mau berobat kerumah sakit atau mau mengantar manten maka dihimbau untuk tidak melewati perempatan Palbapang. Mereka yang mempercayai tradisi itu berpendapat bahwa jika melewati Palbapang maka akan mendapat kesialan atau apes... :D
Walaupun mengatahui bahwa sangat beresiko jika meneruskan perjalanan ke Mataram, tetapi Ki Ageng Mangit tetap melanjutkan juga dengan berjalan ke utara. Setelah berjalan beberapa saat, sampailah Ia di sebuah desa untuk beristirahat. Sembari beristirahat, Ki Ageng Mangir berpikir keras apakah akan melanjutkan terus atau kembali pulang saja. Dia sadar bahwa Panembahan Senopati adalah musuhnya, tetapi dia ngrumangsani bahwa dia adalah anak mantu yang harus bekti kepada mertua. Ki Ageng Mangir bimbang, hatinya ngemban mentul tak tentu...mungkin pilihannya hanya dua, terus atau kembali.... Nah dari suasana hati yang ngemban mentul (bimbang) tadi, maka daerah tempat beristirahat Ki Ageng Mangir ini kemudian dinamakan daerah BANTUL berasal dari akronim ngemBAN menTUL.... Tetapi setelah dipikir-pikir akhirnya Ia tetap melanjutkan perjalananya menuju mataram. Setelah meninggalkan daerah Bantul dan terus keutara, hati Ki Ageng Mangir semakin bimbang dan sakit. Hatinya sudah gejepit (terjepit) antara perasaan sebagai mantu dan sebagai musuh. Persaaan gejepit karena Ia sudah setengah perjalanan, melanjutkan berarti mati tetapi jika kembali pulang maka sudah terlanjur jauh dan mungkin hanya malu yang di dapat. seperti pepatah jawa" Maju tatu mundur Ajur". Kelak, desa itu kemudian dinamakan desa Cepit yang berasal dari kata gejepit.
Dan akhirnya walaupun tahu akan resikonya, Ki Ageng Mangir Wanabaya sudah mantap dan ikhlas untuk tetap menghadap Panembahan Senopati di Mataram. Sesampainya di Mataram, panembahan Senopati mempunyai syarat jika Wanabaya akan menghadap yaitu tidak boleh membawa tombak Baruklinthing masuk. Syarat itu sebetulnya hanyalah tipu muslihat untuk mengurangi kesaktian Mangir Wanabaya yang sakti mandraguna apabila memegang tombak tersebut. Ki Ageng Mangir menurut saja syarat tersebut dengan meninggalkan tombaknya diluar kraton kemudian Ia sowan kepada Raja yang sekaligus mertuanya. Nah tragedi berdarah itu akhirnya menjadi kenyataan. Di saat sungkem, Kepalanya ditatapkan (dibenturkan) ke watu gilang oleh Panembahan Senopati. Seketika itu Ki Ageng Mangir Wanabaya menemui ajalnya. Setelah kejadian tersebut, Senopati mengangkat Mangir menjadi menantu untuk memadamkan pemberontakan.
Jenazah Ki Ageng Mangir kemudian dimakamkan diperbatasan kraton Mataram di Kotagede, jadi separo jasadnya dimakamkan di dalam kraton sedangkan separonya di luar kraton sebagai simbol status pemberontak dan status menantu bersama Batu Gilang yang membekas lekukan oleh dahi Ki Ageng Wanabaya. Sedangkan pusaka tombak baru klinthing kini tersimpan di Keraton Kasultanan Yogyakarta.
Di sisi lain, Pambayun yang sejatinya cinta mati dengan rival ayahnya itu tak mampu menahan kata hatinya, sampai pada detik-detik menjelang pertempuran pasukan Mangir melawan Mataram. Tahun 1581 Tanah Mangir menjadi kekuasaan Mataram sepenuhnya.
Namun para abdi setia Ki Angeng Mangir tetap berucap:
”Tak disangka, Pambayun, dalam keindahan dadamu yang membusung itu ternyata kau simpan juga beribu laknat tanpa akhir. Tak kusangka bibir elok itu menjadi tempat bersemayam berjuta lebah dengan sengatnya. Kenapa dulu kau hiasi leher jenjangmu dengan kupu-kupu bersayap pelangi?”
(selesai)
ditulis: dari berbagai sumber dan cerita simbah saya..... by pesisir kidul

4 Comments:

tanti said...

salam kenal....saya mau tanya ibu dari pembayn siapa ya? makasih

Anonim said...

ibunda Putri Pembayun bernama Nyai Adisara ...

Anonim said...

pancen nyenengake dolan ing pesisir kidul mboh kuwiParangtritis, Parangkusumo, depok, samas,Pantihan kawaru, Pandansimo, pandan sigegek,lan pesisir Glagah apa mmaneh malem Jumat Kliwon wuah rame buanget.

Cimoudh said...

Sungguh sangat menarik sekali tulisan ini, saya punya usul bagaimana kalau di bukukan saja dan diperlengkap dengan foto, atau dokumen yang mendukung.
Cerita tutur yang makin lama makin lenyap dari perkembangan jaman, atau bahkan mungkin ada upaya cerita tutur atau babat tanah Mangir ini jangan sampai menjadi bagian sejarah di Jogja.