Mangir adalah sebuah kademangan diwilayah Kerajaan Mataram. Kademangan adalah sebuah wilayah , yang membawahi lurah (Kalau sekarang setingkat Kecamatan) yang dipimpin oleh seorang Demang yang keberadaannya hanya mencakup aspek administratif. Karena sejauh ini belum ada referensi yang mengisahkan adanya proses pemilihan demang. Itu artinya, demang “ditunjuk” oleh Raja dan dia hanya memiliki kekuasaan secara “administratif” (mungkin dapat diistilahkan dekonsentrasi). Keberadaanya adalah sebagai wakil pemerintah pusat.
Tetapi tidak demikian dengan Kademangan Mangir. Ki Ageng Mangir Wanabaya (yang kemudian dikenal dengn sebutan Ki Ageng Mangir) telah mendapatkan kewenangan memimpin Mangir sebagai “ daerah perdikan” (secara terminologis berasal dari kata “merdika”). Itu artinya ki Ageng Mangir juga memiliki kekuasaan otonomi dan bukan hanya masalah “adminstratif” belaka. Atas dasar itulah, maka Ki Ageng Mangir
merasa punya hak untuk tidak tunduk dibawah perintah mataram. Obsosesinya adalah untuk membawa Mangir menjadi daerah merdeka. Bebas dari perintah Mataram.
Postingan saya kali ini adalah menceritakan awal dari KI Ageng Mangir dalam upayanya mendirikan wilayah merdeka, sedangkan untuk kisah utamanya akan saya muat dalam bagian selanjutnya. Tetapi menarik pula untuk disimak adalah latar belakang Ki Ageng Mangir sendiri yang jika meruntut pada Babad Tanah Jawa ternyata menimbulkan kontroversi yang sampai saat ini (konon) masih “gayeng” dalam perbincangan di kalangan arkeolog, sejarawan dan budayawan.
Bukan berlebihan memang apabila memperbincangkan Babad Mangir khususnya dan Babad Tanah Jawa pada umumnya harus pula mempertimbangkan aspek budaya. Bukan dari aspek sejarah dan arkeologi semata. Babad Tanah Jawa bukanlah kepingan artifak dan lembaran-lembaran naskah saja. Ia adalah sebuah sebuah catatan budaya yang punya jiwa. Lihatlah batapa Babad Mangir masih juga menimbulkan tanya.
Alkisah, pada saat Kademangan Mangir dilaksanakan acara “bersih desa”, semua warga masyarakat berkumpul dan begotong royong untuk membantu. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semua terlibat dalam hajatan tersebut.
Seorang gadis yang turut serta dalam kegiatan itu lupa tidak membawa pisau sehingga praktis tak ada yang dapat ia kerjakan. Melihat hal itu, Ki Ageng Mangir meminjamkan keris saktinya kepada sang gadis agar bisa ikut membantu kegiatan di dapur (jw: rajang-rajang) tetapi dengan satu pesan (wewaler) agar keris itu tidak dipangku (diletakkan di pangkuan). Celakanya karena asyik membantu sang gadis lupa dan tanpa sengaja keris ki ageng mangir dipangku. Akibatnya saunggu diluar dugaan. Karena kesaktian keris KI Ageng Mangir, si gadis hamil. Lalu atas kawicaksanan (kebjkasanaan dan kemurahan hati) ki Agemng Mangir, si gadis tidak dihukum tetapi diasingkan ke tengah hutan. Selesai?
Belum. Akibat melanggar wewaler dari KI Ageng Mangir, maka ketika lahir bayi yang dikandung sang gadis tidak berwujud manusia, tetapi berwujud seekor ular yang kemudian diberinama Baru Klinting. Makin hari, Baru Klinting tumbuh semakin besar an pada saatnya menayakan siapa ayahnya. Sang ibu menceritakan sebab musabab kelahirannya. Atas dasar itu, baru klinting menganggap bahwa ayahnya adalah Ki Ageng Mangir. Maka Berangkaltah ia ke Mangir untuk mendapatkan pengakuan sebagai anak.
Perjalanan Baru Klintingpun merupakan bagian cerita yang tak kalah menarik dimana dia melewati legenda “Terjadinya Rawa Pening” dan seterusnya. Tapi saya tak hendak menceritakan itu karena fokus cerita adalah Ki Ageng Mangir. Jadi untuk mengimbanginya saya rasa perlu untuk membuat ilustrasi yang relatif panjang :)
Singkat cerita, baru klinting sudah menghadap kepada Ki Ageng Wanabaya di Kademangan Mangir. Ki Ageng Mangir bersedia menerima Baru Klinting sebagai anak, dengan syarat Baru Klinting sanggup bertapa melingkari Gunung Merapi dengan tubuhnya. Baru Klinting sanggup dan dia mulai melingkarkan tubuhnya di gunung Merapi. Sayang, panjang tubuhnya tadak cukup untuk melingkari gunung Merapi, hanya kurang setangah depa. Maka untuk melengkapinya, Baru Klinting menjulurkan lidahnya agar tercapai syarat yang diajukan Ki Ageng Mangir. Pada saat lidahnya terjulur itulah, maka Ki Ageng Mangir mencabut pedang dan memotong lidah Baru Klinting. Potongan lidah berubah menjadi tombak sakti bermata dua yang kemudian diberi nama Kyai Baru Klinting.
Disinilah peran sastrawan dan budayawan untuk menggali makna yang tersirat dalam cerita Babad Mangir tersebut. Manusia jaman sekarang akan dengan mudah dan berani “menterjemahkan” cerita tersebut dalam versi dunia modern yang sangat permisif dan rasional.
Jelasnya, tidak ada keris yang dipinjamkan Ki Ageng Mangir kepada sang Gadis dengan sebuah pesan agar keris tidak dipangku. Yang ada adalah perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh seorang demang kepada salah satu warganya (yang kebetulan cantik) yang mengakibatkan hamilnya sang Gadis.
Tidak ada kelahiran seekor ular dari rahim seorang gadis. Yang ada adalah aib. Maka ketika Baru Klinting (bersama ibunya, tentu) meminta pertanggung jawaban pada Ki Ageng Mangir, jawabnya adalah “memotong lidah” mereka agar tidak menceritakan kepada siapapun.
Lalu tidak ada Lidah Ular yang berubah menjadi Pusaka Tombak Sakti. Yang ada hanyalah bahwa lidah / pengakuan anak itulah yang sekarang menjadi “truf”, sehingga dimata Panembahan Senapati, Ki Ageng Wanabaya tetap bersih. Maka “tombak sakti Kyai Baru Klinting” itulah yang dibawa menghadap Panembahan Senapoti tatkala ia akan melamar Nyi Pambayun.
Tapi kenapa cerita harus disamarkan dan dibesut sedemikian rupa untuk sorang pemberontak bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya? Ya, karena bagaimanapun juga Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah menantu Panembahan Senapati Ing Alaga Peneteg Sayidin Panatagama Kalipatulah, Raja Mataram. Dan bayi yang dikandung Nyi Pambayun mengalir darah Raja Mataram. Budaya Jawa menjawab dengan tegas : MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO.
Selanjutnya kembali pada kebijksanaan anda untuk menilai.... (Bersambung)
Tetapi tidak demikian dengan Kademangan Mangir. Ki Ageng Mangir Wanabaya (yang kemudian dikenal dengn sebutan Ki Ageng Mangir) telah mendapatkan kewenangan memimpin Mangir sebagai “ daerah perdikan” (secara terminologis berasal dari kata “merdika”). Itu artinya ki Ageng Mangir juga memiliki kekuasaan otonomi dan bukan hanya masalah “adminstratif” belaka. Atas dasar itulah, maka Ki Ageng Mangir
merasa punya hak untuk tidak tunduk dibawah perintah mataram. Obsosesinya adalah untuk membawa Mangir menjadi daerah merdeka. Bebas dari perintah Mataram.
Postingan saya kali ini adalah menceritakan awal dari KI Ageng Mangir dalam upayanya mendirikan wilayah merdeka, sedangkan untuk kisah utamanya akan saya muat dalam bagian selanjutnya. Tetapi menarik pula untuk disimak adalah latar belakang Ki Ageng Mangir sendiri yang jika meruntut pada Babad Tanah Jawa ternyata menimbulkan kontroversi yang sampai saat ini (konon) masih “gayeng” dalam perbincangan di kalangan arkeolog, sejarawan dan budayawan.
Bukan berlebihan memang apabila memperbincangkan Babad Mangir khususnya dan Babad Tanah Jawa pada umumnya harus pula mempertimbangkan aspek budaya. Bukan dari aspek sejarah dan arkeologi semata. Babad Tanah Jawa bukanlah kepingan artifak dan lembaran-lembaran naskah saja. Ia adalah sebuah sebuah catatan budaya yang punya jiwa. Lihatlah batapa Babad Mangir masih juga menimbulkan tanya.
Alkisah, pada saat Kademangan Mangir dilaksanakan acara “bersih desa”, semua warga masyarakat berkumpul dan begotong royong untuk membantu. Laki-laki, perempuan, tua, muda, semua terlibat dalam hajatan tersebut.
Seorang gadis yang turut serta dalam kegiatan itu lupa tidak membawa pisau sehingga praktis tak ada yang dapat ia kerjakan. Melihat hal itu, Ki Ageng Mangir meminjamkan keris saktinya kepada sang gadis agar bisa ikut membantu kegiatan di dapur (jw: rajang-rajang) tetapi dengan satu pesan (wewaler) agar keris itu tidak dipangku (diletakkan di pangkuan). Celakanya karena asyik membantu sang gadis lupa dan tanpa sengaja keris ki ageng mangir dipangku. Akibatnya saunggu diluar dugaan. Karena kesaktian keris KI Ageng Mangir, si gadis hamil. Lalu atas kawicaksanan (kebjkasanaan dan kemurahan hati) ki Agemng Mangir, si gadis tidak dihukum tetapi diasingkan ke tengah hutan. Selesai?
Belum. Akibat melanggar wewaler dari KI Ageng Mangir, maka ketika lahir bayi yang dikandung sang gadis tidak berwujud manusia, tetapi berwujud seekor ular yang kemudian diberinama Baru Klinting. Makin hari, Baru Klinting tumbuh semakin besar an pada saatnya menayakan siapa ayahnya. Sang ibu menceritakan sebab musabab kelahirannya. Atas dasar itu, baru klinting menganggap bahwa ayahnya adalah Ki Ageng Mangir. Maka Berangkaltah ia ke Mangir untuk mendapatkan pengakuan sebagai anak.
Perjalanan Baru Klintingpun merupakan bagian cerita yang tak kalah menarik dimana dia melewati legenda “Terjadinya Rawa Pening” dan seterusnya. Tapi saya tak hendak menceritakan itu karena fokus cerita adalah Ki Ageng Mangir. Jadi untuk mengimbanginya saya rasa perlu untuk membuat ilustrasi yang relatif panjang :)
Singkat cerita, baru klinting sudah menghadap kepada Ki Ageng Wanabaya di Kademangan Mangir. Ki Ageng Mangir bersedia menerima Baru Klinting sebagai anak, dengan syarat Baru Klinting sanggup bertapa melingkari Gunung Merapi dengan tubuhnya. Baru Klinting sanggup dan dia mulai melingkarkan tubuhnya di gunung Merapi. Sayang, panjang tubuhnya tadak cukup untuk melingkari gunung Merapi, hanya kurang setangah depa. Maka untuk melengkapinya, Baru Klinting menjulurkan lidahnya agar tercapai syarat yang diajukan Ki Ageng Mangir. Pada saat lidahnya terjulur itulah, maka Ki Ageng Mangir mencabut pedang dan memotong lidah Baru Klinting. Potongan lidah berubah menjadi tombak sakti bermata dua yang kemudian diberi nama Kyai Baru Klinting.
Disinilah peran sastrawan dan budayawan untuk menggali makna yang tersirat dalam cerita Babad Mangir tersebut. Manusia jaman sekarang akan dengan mudah dan berani “menterjemahkan” cerita tersebut dalam versi dunia modern yang sangat permisif dan rasional.
Jelasnya, tidak ada keris yang dipinjamkan Ki Ageng Mangir kepada sang Gadis dengan sebuah pesan agar keris tidak dipangku. Yang ada adalah perbuatan tidak senonoh yang dilakukan oleh seorang demang kepada salah satu warganya (yang kebetulan cantik) yang mengakibatkan hamilnya sang Gadis.
Tidak ada kelahiran seekor ular dari rahim seorang gadis. Yang ada adalah aib. Maka ketika Baru Klinting (bersama ibunya, tentu) meminta pertanggung jawaban pada Ki Ageng Mangir, jawabnya adalah “memotong lidah” mereka agar tidak menceritakan kepada siapapun.
Lalu tidak ada Lidah Ular yang berubah menjadi Pusaka Tombak Sakti. Yang ada hanyalah bahwa lidah / pengakuan anak itulah yang sekarang menjadi “truf”, sehingga dimata Panembahan Senapati, Ki Ageng Wanabaya tetap bersih. Maka “tombak sakti Kyai Baru Klinting” itulah yang dibawa menghadap Panembahan Senapoti tatkala ia akan melamar Nyi Pambayun.
Tapi kenapa cerita harus disamarkan dan dibesut sedemikian rupa untuk sorang pemberontak bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya? Ya, karena bagaimanapun juga Ki Ageng Mangir Wanabaya adalah menantu Panembahan Senapati Ing Alaga Peneteg Sayidin Panatagama Kalipatulah, Raja Mataram. Dan bayi yang dikandung Nyi Pambayun mengalir darah Raja Mataram. Budaya Jawa menjawab dengan tegas : MIKUL DHUWUR MENDHEM JERO.
Selanjutnya kembali pada kebijksanaan anda untuk menilai.... (Bersambung)
3 Comments:
Kalau begitu , paragraf-1 dan paragraf-2 jelaslah tidak bisa dipersandingkan . Artinya "Kademangan" bukanlah 'Tanah Perdikan', jelas sekali.
Tetapi tidak apalah, artinya masih ada dan mungkin masih banyak pemerhati budaya, khususnya masalah tata kelola pemerintahan yang bersumber dari khasanah para pendahulu di Tanah Jawa. Teruslah di'eksplore' / digali untuk didiskusikan, sebagai bahan studi & dokumen sebagian perjalanan sejarah.
perdikan tidak sama dengan kademangan dong....
Yang dimaksud daerah/wilayah ( entah itu kadipaten, kawedanan, kapanewon, atau pun kademangan perdikan; adalah daerah/wilayah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak (upeti) kepada kerajaan, serta mengatur ekonominya sendiri (otonomi)karena pertimbangan tertentu misal, wilayah tersebut sudah ada dan maju lebih dulu daripada kerajaan/negara yang terbentuk, seperti contoh, Mangir yang sudah ada dan diberikan sebagai daerah perdikan oleh kerajaan Pajang ( sebelum Mataram berdiri ). Jadi, Mangir merupakan daerah perdikan dari kerajaan Pajang.
Post a Comment