Minggu, 31 Januari 2010

Sandiwara Radio : Dari Telinga Turun ke Hati


Pada pagi itu jam di dinding rumahku sudah menunjukan pukul 05.00 WIB. Udara pagi yang segar ditambah kicau burung prenjak dan emprit yang riang menyambut pagi, menambah hidup suasana khas desa. Dijalanan yang masih remang-remang yang memang dikala itu belum ungsum listrik di desa, terlihat samar-samar Pak Tani tetangga saya sudah memikul pacul (cangkul) menuju sawah. Seperti biasa di setiap pagi, setelah menunaikan sholat subuh maka saya akan keluar rumah untuk menyongsong terbitnya mentari yg berarti dimulainya aktivitas hari ini.

Ibu saya sudah terlihat sibuk dengan barang dagangannya untuk dibawa kepasar, tapi memang dasar anak kecil jadi saya cuma bisa melihat saja sambil tangan menenteng sebuah barang berbentuk kotak yang ternyata adalah radio. Dikala itu belum banyak yang mempunyai TV, jadi barang yang menjadi favorit untuk hiburan ditiap rumah-rumah adalah radio. Untuk menghidupkan radio ini dibutuhkan sumber daya dari batu baterai yang biasanya berjumlah minimal dua buah. Baterai bisa jadi menjadi barang pokok diwaktu itu karena belom adanya listrik, dan jika lg gak punya uang kok baterai habis katanya dengan memepe (menjemur) batre itu maka akan bisa isi lagi walaupun cuma untuk sebentar hehe....

Saya hidupkan radio 2 band disebelah saya, lalu saya putar ke frekuensi stasion radio kesayangan. Siaran apakah yang saya cari? jawabanya adalah Sandiwara radio. Ya, sandiwara radio. Jika Anda produk 80-an dan tinggal bukan di kota besar, Anda kemungkinan besar juga teracuni polusi sandiwara radio. Siapa yang tak kenal Brama Kumbara? Siapa yang meragukan kehebatan Sembara dengan cambuk kilatnya? Siapa yang tak merinding mendengar kikik Mak Lampir? Siapa yang tak mengakui kedigjayaan Mantili dengan pedang setan dan pedang peraknya? Dan siapa yang tak terpana mendengar penggambaran Lasmini yang cantik bahenol, genit namun sakti mandraguna?

Legenda Bertabur Obat-Obatan

Kebanyakan sandiwara radio di era 80-an disponsori oleh perusahaan obat-obatan dan farmasi. Dan boleh dikatakan Kalbe Farma adalah yang tersukses dari sponsor-sponsor tersebut. Dua serial sandiwara radio Saur Sepuh dan Babad Tanah Leluhur usungan Kalbe Farma sukses memanen penggemar. Saur Sepuh dikemudikan oleh Niki Kosasih sementara ide cerita Babad Tanah Leluhur dilahirkan oleh Cece Suhyar (dengan teknik dan montase oleh Yadi Enos dan musik oleh Harry Sabar). Lalu di belakangnya tercatat PT Bintang Tudjuh dengan Api Di Bukit Menoreh (SH Mintarja) dan Tutur Tinular berserta sekuelnya Mahkota Mayangkara (S Tijab). Sementara PT Medifarma melahirkan Misteri dari Gunung Merapi dan sekuelnya Mustika dari Gunung Merapi (Asmadi Sjafar). Di belakang serial-serial ini, mengikut serial-serial lain yang juga sukses namun tak mampu menghimpun sebanyak pendengar serial-serial di atas. Tercatat Putri Cadar Biru (satu lagi dari Kalbe Farma), Misteri Gandrung Aru, Jaka Badak, Mahabrata, Kaca Benggala, Galang Gemilang, Ibuku Sayang Ibuku Malang, dan satu milik pemerintah yang berumur sangat panjang, Butir-Butir Pasir di Laut. Sebagaimana halnya iklan di teve, iklan obat di sandiwara radio pun biasanya menyelinap di saat-saat menegangkan. Dengan durasi 30 menit, umumnya selingan iklan muncul sebanyak tiga sampai empat kali. Di opening jingle sederet iklan pun diperdengarkan sebelum masuk ke dalam cerita. Hingga kini saya tak bisa mengenyahkan jingle iklan Kalpanax, Micorex, Procold, Promag, Entrostop, Puyer obat sakit kepala cap 19, Decolsin, Decolgen, dan sederet obat-obatan lainnya dari kepala saya. Ya, saya telah tercuci otak oleh iklan sandiwara radio.

Dan persaingan melahirkan benih pertikaian. Kalpanax (Kalbe Farma) dan Micorex (Bintang Tujuh), keduanya berjenis obat antipanu dan antikutu air, memperoleh lahan buat menjatuhkan pesaing. Kalpanax (dengan cairan berwarna merah) yang lebih dahulu hadir tersinggung saat Micorex meledek ketidakmanjuran obar berwarna merah dalam iklan radionya. Sebagai pembalasan Kalpanax balas meledek Micorex yang berwarna biru dengan sebutan : spiritus bakar untuk lampu petromax.

Dongeng Sejarah dan Aji Maha Sakti


Belakangan baru saya mengerti dan mulai membangun teori mengapa sandiwara radio yang hanya mengandalkan kuping demikian lekat di hati rakyat jelata (dalam bahasa saur sepuh : kawula alit). Untuk rakyat kebanyakan, serial sandiwara radio yang kebanyakan berupa carangan (kisah fiktif yang menempel pada fakta sejarah) dianggap sebagai hiburan yang murah meriah, yang bahkan sering dianggap bagian dari sejarah itu sendiri. Saur Sepuh melekat pada sejarah kerajaan Majapahit dan Silihwangi, Babad Tanah Leluhur mendomplengi sejarah kerajaan Mataram Hindu, Tutur Tinular dan Mahkota Mayangkara berpegang pada babad kerajaan Singosari dan Majapahit (sama halnya dengan Misteri Gandrung Aru), sementara Api di Bukit Menoreh dan Putri Cadar Biru merujuk pada kerajaan Demak dan Mataram Islam. Putri Cadar Biru malah memilih latar perjuangan kerajaan Mataram Islam melawan penjajah asing.

Sementara untuk anak-anak, sandiwara radio menumbuhsuburkan imajinasi, melatih daya khayali yang terstimuli hanya dari telinga. Saat bermain silat-silatan, tak jarang terdengar teriakan : Cambuk kilat, hiaaat! Atau Ajian Serat Jiwa, ciaaat! Atau, terimalah ini : Pukulan Seribu Geledek Tegalan Turu, jeddeeerrrr! Ya, memalukan memang. Tapi demikianlah kanak-kanak. Saya sendiri waktu itu punya ajian sakti : Kincir Metu dan Banyucakrabuana dari serial Babad Tanah Leluhur. Untuk Kincir Metu, saya akan berputar-putar sembari maju menghampiri 'musuh', dan untuk Banyucakrabuana, saya akan berputar sekali, merentangkan tangan ke atas lalu mendorong ke depan (mirip-mirip kamehame). Tentu saja tak terjadi apa-apa saat saya melepaskan 'ajian sakti' tersebut, selain rasa pusing dan mual akibat berputar-putar terlalu lama....

Di sekolah pun racun sandiwara radio masih memperlihatkan pengaruhnya. Saat jam menggambar bebas, saya memilih menggambar tokoh favorit saya : Brama, dengan otot menonjol di sana-sini plus mahkota di kepala (kendati si Ferry Fadly pengisi suara bertubuh ceking mendekati kurus), Lasmini, dengan buah dada ekstra besar (setidaknya itu gambaran masa kecil saya tentang wanita penggoda), dan Mantili yang selalu menenteng pedang bak tukang jagal. Dan tentu saja pertengkaran antar teman di jam istirahat (yang kadang berakhir dengan perkelahian), tentang tokoh siapa yang lebih jago. Atau berlomba-lomba menebak-nebak kisah selanjutnya. Sebab tak ada yang mau mengalah, maka terkadang pertengkaran diselesaikan dengan berantem, dengan kepalan, zonder aji-ajian....


Lalu akhirnya sandiwara radio pun naik pangkat. Dengan penggemar di segenap pelosok tanah air, pihak produser mencium aroma bisnis. Maka lahirlah Saur Sepuh sebagai sandiwara radio pertama yang bermutasi dari radio ke layar perak dengan biaya besar-besaran dan kolosal (untuk ukuran Indonesia). Satria Madangkara menjadi judul pertama disusul Pesanggrahan Kramat, Kembang Gunung Lawu lalu Istana Atap Angin. Dan bagai berlomba-lomba semua produser berupaya menggarap proyek yang sama. Misteri Dari Gunung Merapi merayap ke layar perak dengan episode Penghuni Rumah Tua, Titisan Roh Nyai Kembang, dan Perempuan Berambut Api. Tutur Tinular tak mau ketinggalan juga turut merambah layar perak dengan episode Pedang Naga Puspa dan Naga Puspa Kresna.

Di layar kaca, jangan tanya lagi. Di akhir 80-an dan sepanjang 90-an ruang keluarga di rumah diserbu oleh visualisasi sandiwara radio ini. Nyaris semua sandiwara radio yang populer (dan tak cuma yang bertema laga) di seret ke layar kaca. Sinetron seri laga berlandas sandiwara radio dengan PT Gentabhuana Pitaloka sebagai panglimanya hadir mengisi jam-jam prime time layar kaca.

Dan saya? Saya menyimpan rasa gamang tentu saja. Sebab di layar perak dan di layar kaca visualisasi tokoh-tokoh kebanggaan saya memperoleh wujud. Dan saya harus bersiap kecewa. Sebab banyak hal yang berseberangan dengan imajinasi saya : Mantili tak secantik yang saya bayangkan, Lasmini tak berpayudara ekstrabesar, Brama versi layar lebar berkumis tebal, dan kenapa pula Mak Lampir bermuka hijau seperti keracunan?


Kadang-kadang saya masih merindukan masa di semuanya masih demikian sederhana, masa di mana dunia hiburan (kanak-kanak) begitu lempang dan tak sesemrawut sekarang. Masa di mana di saat-saat tertentu kami duduk melingkar mengitari radio dengan kuping terpasang cermat. Masa di mana suara derap kuda, denting pedang beradu, dahsyatnya dua aji kesaktian berjibaku, teriakan dan bentakan, menciptakan dunia sempurna dalam imajinasi saya tanpa perlu embel-embel visualisasi teve dan film. Masa di mana desah hangat Lasmini dari speaker radio saat ia merayu Brama, mewujudkan imaji Lasmini sebagai perempuan cantik, sintal, penggoda nomor wahid sekaligus sakti nan pilih tanding. Dan saya tak harus mendapati kenyataan bahwa di layar kaca, (pemeran) Lasmini, ternyata bermasalah dengan jerawat, kini tak sesingset dahulu dan mulai digelayuti lemak di sana-sini. Apa boleh buat, ilmu awet muda 'Lasmini' yang membuat brondong seperti Raden Bentar bertekuk lutut, ternyata kalah sakti menghadapi serbuan jerawat .... :D


(bersambung....postingan berikutnya akan lebih detil mengulas untuk setiap judul sandiwara)

4 Comments:

parto_sentono said...

kudune sing cocok dadi lasmini ki julia perez wehehehehe

Cah Pesisir kidul said...

josss kui....nek kw wangune dadi mpu tong bajil dab wakakaka, neng adegane ro dewi sambi kae yo tonjo to ....=))

kidul mbebeng said...

teruske lek, dadi kelingan jaman ndisik ..

Cah Pesisir kidul said...

iyo lek...enteni wae kisah selanjutnya.... :D