Sebentar lagi Hari raya Idul Adha 1432H telah datang. Menurut penanggalan nasional dan juga Maklumat PP Muhammadiyah, tanggal 10 Dzulhijah 1432H akan jatuh pada tanggal 6 November 2011.
“Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan sembelihlah kurban.” (QS Al-Kautsar 1-2)
SETIAP tahun ada dua hari raya bagi umat Islam yang diperingati dan dirayakan secara khusus, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha (Idul Kurban). Kedua hari raya ini memiliki makna tersendiri bagi seorang muslim. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tiap 1 Syawal dan Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah dari penanggalan Hijriyah.
Hari Raya Idul Fitri merupakan suatu manifestasi dari rasa gembira setelah sebulan penuh menjalani latihan pengendalian diri dan perang melawan hawa nafsu. Sedangkan Hari Raya Idul Adha adalah wujud dari keimanan dan ketakwaan serta kepatuhan terhadap Sang Khaliq, Allah SWT.
Insya Allah, Hari Raya Idul Adha tahun ini (10 Dzulhijjah 1432 H) bersamaan dengan tanggal 6 November 2011 M, hari Ahad. Ada keistimewaan tersendiri dari Hari Raya Idul Adha, yakni waktunya bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Pada tanggal 10 Dzulhijjah para jemaah haji yang telah selesai wukuf di Arafah akan melontar Jumratul Aqabah di Mina.
Keistimewaan lain ialah kewajiban menyembelih kurban selesai menunaikan salat Idul Adha atau pada hari raya Tasyriq yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Kaum muslimin juga dianjurkan melantunkan takbir, tahlil dan tahmid mulai dari tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 Dzulhijjah (empat hari termasuk hari-hari tasyriq). Kalau Idul Fitri kita hanya disuruh bertakbir, bertahlil dan bertahmid hanya sampai usai salat Ied, maka pada Hari Raya Idul Adha kita melakukannya selama empat hari.
Makna hakiki dari ibadah kurban yang diwajibkan kepada seorang muslim yang memiliki kemampuan adalah ‘kerelaan berkurban’ sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As, Nabi Ismail As dan Siti Hajar. Mereka rela berkurban demi kepatuhan dan ketaatannya kepada perintah Allah SWT.
Saat itu, sedikit kita menoleh ke belakang, Nabi Ibrahim As diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail As, tiba-tiba datanglah iblis yang meminta Ibrahim agar mengurungkan niatnya.
Ibrahim mengetahui bahwa upaya yang dilakukan iblis itu bertujuan agar dirinya tergoda dan tidak menaati perintah Allah SWT. Karena itu, Ibrahim lantas mengambil tujuh buah batu dan melemparkannya kepada iblis. Inilah yang dinamakan Jumrah Ula (pertama).
Tidak berhasil menggoda Ibrahim, iblis dalam wujud aslinya lantas membujuk Siti Hajar agar segera melarang Ibrahim yang bermaksud menyembelih putranya tersayang, Nabi Ismail. Namun Siti Hajar juga menolak dan melemparinya dengan batu ke arah iblis. Lokasi ini sekarang merupakan tempat melontar Jumrah Wustha (pertengahan).
Iblis beralih menggoda Nabi Ismail As yang dianggap masih rapuh keimanannya. Namun sebaliknya, justru dari awal Ismail memiliki pendirian yang teguh dan meyakini bahwa perintah (penyembelihan dirinya) itu langsung dari Allah SWT. Maka, Ismail pun mengambil batu dan melemparkannya pada iblis. Inilah yang dimaksud dengan Jumrah Aqabah (Islam Digest, Ahad, 25 Oktober 2009).
Syariat berkurban yang diturunkan Nabi Ibrahim As kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya memiliki makna dan hikmah yang besar bagi umat Islam. Hikmahnya adalah mengikuti jejak Nabi Ibrahim. Secara rinci ada dua:
l Pertama, memperlihatkan ketaatan yang sempurna kepada Allah Yang Maha Agung, walaupun diperintah untuk menyembelih putra kesayangannya.
l Kedua, menunaikan kewajiban bersyukur kepada Allah SWT, berupa nikmat tebusan. Di mana Allah SWT sudah menjadikan orang yang menyembelih binatang ternak termasuk orang yang bersedekah dari nikmat-Nya, bukan termasuk orang-orang fakir yang berhak menerima sodaqah. Dan tidak diragukan lagi ini merupakan nikmat yang besar.
Jamaah haji yang melakukannya berada di tingkatan yang tertinggi. Sebab, tidak ada kedudukan paling tinggi dalam ketaatan manusia kepada Tuhannya melebihi taat kepada-Nya, dalam setiap perintah yang diperintahkan, walaupun sampai disuruh menyembelih putra yang menjadi buah hatinya. Seyogianya menyembelih binatang ternak (qurban) atas orang yang menjalankan ibadah haji dalam rangka mensyukuri nikmat Allah SWT. (Hikmah Ibadah Haji, Depag, 2007).
Ibadah kurban juga akan menimbulkan kesadaran dalam pengorbanan materi, kesadaran akan pentingnya kesetiakawanan sosial sebagai upaya menumbuhkan integritas sosial. Hikmah-hikmah tersebut tentu cukup relevan dan membantu saudara-saudara kita yang sekarang sedang mengalami kesulitan hidup.
Makna yang tersirat dalam berkurban itu ialah berkurban (berinfak fi sabilillah) yaitu berinfak di jalan Allah SWT, seperti menolong fakir miskin, anak yatim, membantu orang yang sedang ditimpa musibah dan lain sebagainya.
Sunnat Muakkad
Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya menegaskan: “Barangsiapa yang mampu untuk berkurban tapi ia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat salat kami.” Sebagian ulama menyatakan hukum menyembelih kurban bagi yang sudah berkemampuan adalah sunnat muakkad atau sunnat yang sangat dianjurkan.
Dengan bahasa lain, bagi mereka yang telah memiliki kemampuan untuk berkurban disunnahkan menyembelih paling tidak seekor kibas atau kambing. Atau boleh juga dengan sepertujuh sapi, yakni menyembelih seekor sapi untuk 7 orang peserta kurban.
Kewajiban berkurban ini ternukil dalam firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang begitu banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan sembelihlah kurban. Sesungguhnya orang yang membencimulah yang terputus.” (QS Al-Kautsar : 1-3).
Dalam surat Al-Kautsar (nikmat yang banyak) ini Allah SWT mengingatkan kita bahwa sudah begitu banyak nikmat yang kita terima dari-Nya. Nikmat hidup yang sehat, rezeki dan kelapangan hidup di bumi Allah ini serta nikmat-nikmat lainnya.
Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya: “Wa in ta’udduu ni’matallaahi la tuhshuuhaa. Innallaha laghafuururrohiim (Dan jika kamu hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak sanggup menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl 18).
Allah SWT tidak minta apa-apa dari kita kecuali kita disuruh mensyukurinya dengan mendirikan salat sebagai ibadah utama dan menyembelih kurban. Perintah salat sebagai hakikat dalam mensyukuri nikmat Allah. Kita diwajibkan untuk selalu memelihara hubungan dengan Sang Khalik yang telah mengucurkan nikmat yang begitu banyak kepada kita.
Dan perintah berkurban sebagai makna agar kita juga selalu memelihara hubungan dengan sesama manusia, terutama untuk saling bantu dan saling menolong. Kita sembelih hewan kurban, kemudian kita bagikan dagingnya kepada mereka yang kurang mampu sebagai wujud kesetiakawanan terhadap sesama.
SETIAP tahun ada dua hari raya bagi umat Islam yang diperingati dan dirayakan secara khusus, yakni Hari Raya Idul Fitri dan Hari Raya Idul Adha (Idul Kurban). Kedua hari raya ini memiliki makna tersendiri bagi seorang muslim. Hari Raya Idul Fitri yang jatuh pada tiap 1 Syawal dan Hari Raya Idul Adha tanggal 10 Dzulhijjah dari penanggalan Hijriyah.
Hari Raya Idul Fitri merupakan suatu manifestasi dari rasa gembira setelah sebulan penuh menjalani latihan pengendalian diri dan perang melawan hawa nafsu. Sedangkan Hari Raya Idul Adha adalah wujud dari keimanan dan ketakwaan serta kepatuhan terhadap Sang Khaliq, Allah SWT.
Insya Allah, Hari Raya Idul Adha tahun ini (10 Dzulhijjah 1432 H) bersamaan dengan tanggal 6 November 2011 M, hari Ahad. Ada keistimewaan tersendiri dari Hari Raya Idul Adha, yakni waktunya bersamaan dengan pelaksanaan ibadah haji di Tanah Suci. Pada tanggal 10 Dzulhijjah para jemaah haji yang telah selesai wukuf di Arafah akan melontar Jumratul Aqabah di Mina.
Keistimewaan lain ialah kewajiban menyembelih kurban selesai menunaikan salat Idul Adha atau pada hari raya Tasyriq yakni tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah. Kaum muslimin juga dianjurkan melantunkan takbir, tahlil dan tahmid mulai dari tanggal 10 sampai dengan tanggal 13 Dzulhijjah (empat hari termasuk hari-hari tasyriq). Kalau Idul Fitri kita hanya disuruh bertakbir, bertahlil dan bertahmid hanya sampai usai salat Ied, maka pada Hari Raya Idul Adha kita melakukannya selama empat hari.
Makna hakiki dari ibadah kurban yang diwajibkan kepada seorang muslim yang memiliki kemampuan adalah ‘kerelaan berkurban’ sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim As, Nabi Ismail As dan Siti Hajar. Mereka rela berkurban demi kepatuhan dan ketaatannya kepada perintah Allah SWT.
Saat itu, sedikit kita menoleh ke belakang, Nabi Ibrahim As diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyembelih putranya, Ismail As, tiba-tiba datanglah iblis yang meminta Ibrahim agar mengurungkan niatnya.
Ibrahim mengetahui bahwa upaya yang dilakukan iblis itu bertujuan agar dirinya tergoda dan tidak menaati perintah Allah SWT. Karena itu, Ibrahim lantas mengambil tujuh buah batu dan melemparkannya kepada iblis. Inilah yang dinamakan Jumrah Ula (pertama).
Tidak berhasil menggoda Ibrahim, iblis dalam wujud aslinya lantas membujuk Siti Hajar agar segera melarang Ibrahim yang bermaksud menyembelih putranya tersayang, Nabi Ismail. Namun Siti Hajar juga menolak dan melemparinya dengan batu ke arah iblis. Lokasi ini sekarang merupakan tempat melontar Jumrah Wustha (pertengahan).
Iblis beralih menggoda Nabi Ismail As yang dianggap masih rapuh keimanannya. Namun sebaliknya, justru dari awal Ismail memiliki pendirian yang teguh dan meyakini bahwa perintah (penyembelihan dirinya) itu langsung dari Allah SWT. Maka, Ismail pun mengambil batu dan melemparkannya pada iblis. Inilah yang dimaksud dengan Jumrah Aqabah (Islam Digest, Ahad, 25 Oktober 2009).
Syariat berkurban yang diturunkan Nabi Ibrahim As kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya memiliki makna dan hikmah yang besar bagi umat Islam. Hikmahnya adalah mengikuti jejak Nabi Ibrahim. Secara rinci ada dua:
l Pertama, memperlihatkan ketaatan yang sempurna kepada Allah Yang Maha Agung, walaupun diperintah untuk menyembelih putra kesayangannya.
l Kedua, menunaikan kewajiban bersyukur kepada Allah SWT, berupa nikmat tebusan. Di mana Allah SWT sudah menjadikan orang yang menyembelih binatang ternak termasuk orang yang bersedekah dari nikmat-Nya, bukan termasuk orang-orang fakir yang berhak menerima sodaqah. Dan tidak diragukan lagi ini merupakan nikmat yang besar.
Jamaah haji yang melakukannya berada di tingkatan yang tertinggi. Sebab, tidak ada kedudukan paling tinggi dalam ketaatan manusia kepada Tuhannya melebihi taat kepada-Nya, dalam setiap perintah yang diperintahkan, walaupun sampai disuruh menyembelih putra yang menjadi buah hatinya. Seyogianya menyembelih binatang ternak (qurban) atas orang yang menjalankan ibadah haji dalam rangka mensyukuri nikmat Allah SWT. (Hikmah Ibadah Haji, Depag, 2007).
Ibadah kurban juga akan menimbulkan kesadaran dalam pengorbanan materi, kesadaran akan pentingnya kesetiakawanan sosial sebagai upaya menumbuhkan integritas sosial. Hikmah-hikmah tersebut tentu cukup relevan dan membantu saudara-saudara kita yang sekarang sedang mengalami kesulitan hidup.
Makna yang tersirat dalam berkurban itu ialah berkurban (berinfak fi sabilillah) yaitu berinfak di jalan Allah SWT, seperti menolong fakir miskin, anak yatim, membantu orang yang sedang ditimpa musibah dan lain sebagainya.
Sunnat Muakkad
Rasulullah SAW dalam sebuah hadistnya menegaskan: “Barangsiapa yang mampu untuk berkurban tapi ia tidak berkurban, maka jangan dekati tempat salat kami.” Sebagian ulama menyatakan hukum menyembelih kurban bagi yang sudah berkemampuan adalah sunnat muakkad atau sunnat yang sangat dianjurkan.
Dengan bahasa lain, bagi mereka yang telah memiliki kemampuan untuk berkurban disunnahkan menyembelih paling tidak seekor kibas atau kambing. Atau boleh juga dengan sepertujuh sapi, yakni menyembelih seekor sapi untuk 7 orang peserta kurban.
Kewajiban berkurban ini ternukil dalam firman Allah SWT yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah memberimu nikmat yang begitu banyak. Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu dan sembelihlah kurban. Sesungguhnya orang yang membencimulah yang terputus.” (QS Al-Kautsar : 1-3).
Dalam surat Al-Kautsar (nikmat yang banyak) ini Allah SWT mengingatkan kita bahwa sudah begitu banyak nikmat yang kita terima dari-Nya. Nikmat hidup yang sehat, rezeki dan kelapangan hidup di bumi Allah ini serta nikmat-nikmat lainnya.
Allah SWT mengingatkan kita dengan firman-Nya: “Wa in ta’udduu ni’matallaahi la tuhshuuhaa. Innallaha laghafuururrohiim (Dan jika kamu hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak sanggup menghitungnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nahl 18).
Allah SWT tidak minta apa-apa dari kita kecuali kita disuruh mensyukurinya dengan mendirikan salat sebagai ibadah utama dan menyembelih kurban. Perintah salat sebagai hakikat dalam mensyukuri nikmat Allah. Kita diwajibkan untuk selalu memelihara hubungan dengan Sang Khalik yang telah mengucurkan nikmat yang begitu banyak kepada kita.
Dan perintah berkurban sebagai makna agar kita juga selalu memelihara hubungan dengan sesama manusia, terutama untuk saling bantu dan saling menolong. Kita sembelih hewan kurban, kemudian kita bagikan dagingnya kepada mereka yang kurang mampu sebagai wujud kesetiakawanan terhadap sesama.
Sumber : Sriwijaya Post
0 Comments:
Post a Comment